Sunan Kalijaga |
Ia dikenal sebagai seorang Wali yang memiliki kharisma tersendiri di antara wali-wali yang lain, dan paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Beliau memperkenalkan agama Islam secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami). Banyak sekali maha karya beliau dalam bidang budaya, di mana semuanya beliau gunakan sebagai media dalam menyampaikan ajaran Islam.
Beliaulah yang menciptakan baju Taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan destar nyamping dan keris serta rangkaian lainnya), menciptakan tembang Dandanggula dan Dandanggula Semarangan. Selain itu beliau juga menciptakan lagu Lir Ilir yang sampai saat ini masih akrab di kalangan sebagian besar orang Jawa, pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid yang bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di masjid guna memanggil orang-orang untuk sholat berjama’ah.
Karya monumental beliau lainnya adalah acara ritual Gerebeg Maulud yang asalnya dari kegiatan tabligh/pengajian akbar yang diselenggarakan para Wali di mesjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi, selainn itu beliau juga menciptakan Gong Sekaten yang bernama asli Gong Syahadatain (dua kalimat Syahadat), yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakna bahwa mumpung masih hidup agar berkumpul masuk Islam.
Beliau juga pencipta wayang kulit di atas kulit kambing, dan bertindak sebagai Dalang (dari kata dalla yang berarti menunjukkan jalan yang benar). Wayang kulit dengan beberapa cerita yang beliau paling sukai antara lain adalah Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci serta Petruk Jadi Raja dan Wahyu Hidayat. Selain itu beliau juga bertindak sebagai ahli tata kota seperti misalnya dalam pengaturan istana atau kabupaten dengan alun-alun serta pohon beringin dan mesjid.
Salah satu karya beliau adalah tentang konsep Panakawan yang selalu ditampilkan dalam setiap pementasan wayang yang beliau dalangi. Para tokoh Panakawan ini selalu beliau tampilkan dalam setiap pementasan wayang kulit. Tokoh-tokoh Panakawan tersebut adalah :
- Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Mismar. Mismar berarti paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Agama adalah pengokoh/pedoman hidup manusia. Semar dengan demikian juga adalah simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama.
- Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Dalam pengucapan lidah jawa, kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman (umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
- Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para aulia dan mubaligh pada waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong yang berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang.
- Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Si “Bayangan Semar” ini karakternya lancang dan suka berlagak bodoh
Secara umum, Panakawan melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Para tokoh Panakawan juga berfungsi sebagai pamomong (pengasuh) untuk tokoh wayang lainnya. Pada dasarnya setiap manusia umumnya memerlukan pamomong, mengingat lemahnya manusia, hidupnya perlu orang lain (makhluk sosial) yang dapat membantunya mengarahkan atau memberikan saran / pertimbangan. Pamomong dapat diartikan pula sebagai guru / mursyid terhadap salik yang dalam upaya pencerahan jati diri.
Tokoh Panakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Pada setiap permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan kekerasan antara tokoh-tokohnya hingga lakon goro-goro dimainkan. Artinya adalah bahwa jalan kekerasan adalah alternatif terakhir. Dalam Islam pun, setiap dakwah yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang sama. Lakon goro-goro pun menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar menjadi kelihatan jelas sebagaimana sebuah doa: Allahuma arinal haqqa-haqqa warzuknat tiba’ah, wa’arinal baathila-baathila warzuknat tinaabah, artinya: Ya Allah tunjukilah yang benar kelihatan benar dan berilah kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukilah yang salah kelihatan salah dan berilah kekuatan kepadaku untuk menghindarinya.
Banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari setiap hasil karya Sunan Kalijaga tersebut, khususnya bagi bangsa kita saat ini yang sedang berada dalam kondisi krisis multidimensi disertai pula dengan banyakknya musibah yang sedang menimpa negeri ini. Mudah-mudahan kita dapat merenungkannya. Amin.
SYEIKH MAULANA ISHAQ
Pada saat kerajaan Blambangan diserang oleh wabah, sudah berbulan-bulan rakyat Blambangan dilanda suatu penyakit. Banyak rakyat yang terserang penyakit, bahkan sebagian dari mereka menemui ajalnya. Hampi setiap hari selalu ada saja rakyat Blambangan yang meninggal dunia karena wabah ini.
Dewi Sekardadu adalah putri dari raja Blambangan Prabu Menak Sembuyu ketika itu juga tidak luput dari wabah ini. Sudah berbulan bulan Dewi Sekardadu terserang wabah. Sudah banyak dukun, tabib yang datang untuk menyembuhkannya, namun Dewi Sekardadu belum sembuh juga. Kerajaan dirudung kesedian.
Karena melihat putrinya belum sembuh-sembuh dalam waktu yang cukup lama, kemudian Prabu Menak Sembuyu menyuruh patih Bajul Sengara untuk mengumumkan sebuah sayembara, yang isinya barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit sang Putri serta dapat mengusir wabah penyakit dari Kerajaan Blambangan, maka apabila dia laki-laki akan dijodohkan dengan Dewi Sekardadu, bila ia perempuan maka akan dijadikan saudara Dewi Sekardadu.
Setelah sayembara disebarkan sampai ke pelosok negeri, tidak satupun yang berani mengikuti sayembara itu. Sampailah berita sayembara itu pada seorang Brahmana Resi Kandabaya. Pada suatu hari Resi Kandabaya datang ke Kerajaan Blambangan untuk menghadap Prabu Menak Sembuyu. Resi Kandabaya mengatakan kepada Prabu Menak Sembuyu bahwa yang dapat menyembuhkan sang Putri Dewi Sekardadu dan mengusir wabah penyakit dari Kerajaan Blambangan adalah seorang pertapa yang bernama Maulana Ishaq yang berada di gunung Gresik.
Prabu Menak Sembuyu kemudian mengutus patih Bajul Sengara untuk menemui Syeh Maulana Ishaq guna meminta pertolongan untuk menyembuhkan sang Putri dan rakyat Blambangan. Maka berangkatlah patih Bajul Sengara yang diikuti oleh beberapa prajurit. Mereka melakukan perjalanan dengan berkuda untuk menuju Gunung Gresik.
Setelah melakukan perjalanan berkuda selama enam hari, sampailah kesepuluh prajurit berkuda yang dipimpin oleh patih Bajul Sengara di Gunung Gresik, dan menemui Syeh Maulana Ishaq.
“Apa maksud kisanak sekalian datang ke Gunung Gresik ini” tanya Syeh Maulana Ishaq
“Kami diutus oleh Prabu Menak Sembuyu raja Blambangan untuk menemui Syeh, beliau Prabu menak Sembuyu berkata bahwa Syeh yang dapat menyembuhkan penyakit junjungan kami Dewi Sekardadu putri Prabu Menak Sembuyu, dan Syeh pula yang sanggup mengusir wabah penyakit yang sekarang ini menyerang Blambangan “, jawab patih Bajul Sengara. “Apabila hal itu terlaksana atau berhasil, maka Syeh akan dijodohkan dengan Dewi Sekardadu oleh Prabu Menak Sembuyu, tetapi apabila Syeh gagal maka akan dihukum mati oleh Prabu Menak Sembuyu”, lanjut Bajul Sengara.
Mendengar hal tersebut, Syeh Maulana Ishaq terdiam sejenak, kemudian beliau berkata kepada tamunya
“Agama Islam adalah agama yang selalu membantu orang yang memerlukan pertolongan, juga agama yang suka menghormati tamunya, apalagi yang datang dari jauh. Baiklah aku akan memenuhi permintaan Raja kamu sekalian, karena aku tidak sampai hati untuk mengecewakannya, tapi hal ini kulakukan bukan karena iming-iming yang akan dijodohkan dengan Dewi Sekardadu juga bukan karena aku takut untuk dihukum mati oleh raja kalian. Yang kulakukan adalah iklas semata tanpa mengharap imbalan jasa apapun. Nah Sekarang berangkatlah kisanak sekalian terlebih dahulu”
Patih Bajul Sengara kemudian mengajak prajuritnya untuk bergegas kembali ke Blambangan. Untuk sampai di Blambangan kembali merekapun menempuh perjalanan enam hari berkuda.
Ketika rombongan patih Bajul Sengara dan prajuritnya sampai di halaman kerajaan Blambangan, terkejutlah mereka, karena suasana kerajaan tampak meriah sekali. Setelah diselidiki ternyata Prabu Menak Sembuyu sedang merayakan hari ketujuh pernikahan putri Dewi Sekardadu dengan Syeh Maulana Ishaq.
Patih Bajul Sengara semakin terheran, mengenai keterangan yang telah disampaikan oleh para punggawa kerajaan yang ada di sana. Di dalam hatinya mana mungkin Syeh Maulana Ishaq telah sampai lebih dahulu, padahal rombongannya berangkat terlebih dahulu. Diapun segera masuk ke Istana untuk menghadap Prabu Menak Sembuyu.
Setelah patih dihadapan sang raja, raja bertanya, “Kemana saja kalian ini Bajul Sengara”
“Hamba baru datang dari Gunung Gresik Prabu” jelas Bajul Sengara
“Berapa lama waktu yang diperlukan untuk sampai ke Gunung Gresik” tanya Prabu Menak Sembuyu
“Enam hari Gusti Prabu, jadi kami dua belas hari berada di perjalanan, Gusti Prabu” jawab patih Bajul Sengara. “ Lalu apa sebenarnya yang telah terjadi disini Gusti Prabu”
“Sunguh sangat aneh” gumam Gusti Prabu “Pada hari keenam sejak kepergian kalian ke Gunung Gresik, Maulana Ishaq sudah datang ke istana ini. Dia telah berhasil menyembuhkan Dewi Sekardadu dan sekaligus telah mengusir wabah yang menyerang istana ini. Dan sesuai janjiku, maka kujodohkan dia dengan putriku Dewi Sekardadu, sekarang ini adalah perayaan hari ketujuh atas pernikahan Maulana Ishaq dengan putriku”
Patih Baju Sengara terperanjat mendengar apa yang dikatakan oleh sang raja, karena sewaktu di Gunung Gresik rombongannya disuruh berangkat terlebih dahulu oleh Syeh Maulana Ishaq, tetapi Syeh Maulana Ishaq yang sepertinya tidak membawa kuda atau hanya berjalan kaki, datang lebih dahulu dari rombongan mereka. Ini menunjukkan bahwa Syeh Maulana Ishaq bukan orang sembarangan, orang yang sangat tinggi ilmunya.
Segera patih menemui Syeh Maulana Ishaq karena dia masih belum percaya, jangan-jangan ada orang lain yang mengaku-ngaku sebagai Syeh Maulana Ishaq. Setelah melihat sendiri bahwa pria yang bersanding di pelaminan disamping Dewi Sekardadu adalah benar-benar Syeh Maulana Ishaq baru sang patih merasa yakin.
Sesungguhnya Syeh Maulana Ishaq mempunyai ilmu atau kharomah yang tinggi, bahwa dalam sekejap mata beliau dapat berpindah dari Gunung Gresik ke Blambangan. Hal ini adalah karena kuasa Allah, bila Allah SWT berkehendak untuk menjalankan seseorang ke tempat yang sangat jauh dalam waktu sekejap mata, maka tidak ada satu kekuatanpun di jagad raya ini yang akan mencegahnya. Maha Suci Allah atas segala kekuasaanNya.
Setelah pesta perkawinan selesai, banyak penduduk sekitar istana berdatangan untuk meminta pengobatan kepada Syeh Maulana Ishaq, Syeh Maulana Ishaq menolong mereka dengan sabar dan telaten, banyak dari mereka yang sakit telah disembuhkan. Lama-lama penduduk simpati pada ajaran yang telah dibawah oleh Syeh.
Seiring berjalannya waktu, semakin hari semakin banyak pengikut Syeh Maulana Ishaq, mereka dengan sukarela menjadi pengikut Syah Maulana Ishaq dan masuk agama Islam. Melihat kenyataan ini Prabu menak Sembuyu menjadi kawatir, apalagi Syeh Maulana Ishaq melarang memakan binatang yang tidak disembelih atas nama Allah, melarang makan binatang buas, babi dan beliau melarang menyembah berhala. Padahal hal tersebut adalah kesenangan dan sudah menjadi kebiasaan di Blambangan pada waktu itu.
Prabu Menak Sembuyu menyuruh patih Bajul Sengara untuk menyerang Syeh Maulana Ishaq dan pengikutnya. Berangkatlah patih Bajul Sengara beserta prajurit menuju kediaman Syeh Maulana Ishaq. Setelah rombongan prajurit patih Bajul Sengara sampai di depan kediaman Syeh Maulana Ishaq, beliau (Syeh Maulana Ishaq) berjalan dengan tenang menghampiri patih Bajul Sengara. Tidak ada satupun prajurit yang berusaha menghalangi atau menyerang Syeh Maulana Ishaq.
Seperti kita ketahui bahwa tujuan dakwah agama Islam adalah menyadarkan orang yang berbuat kesalahan dengan sikap dan budi pekerti yang halus yang diwujudkan dalam tindakan seharai-hari, bukan membasmi mereka yang salah. Maka untuk mencegah hal itu Syeh Maulana Ishaq berjanji akan meninggalkan Blambangan.
Mendengar hal ini para pengikut bertanya kepada Syeh Maulana Ishaq, “Jangan pergi Tuan, kalau Tuan pergi meninggalkan kami siapa yang akan membimbing kami mempelajari ajaran agama Islam, siapa yang akan membimbing kami menuju jalan yang benar, dan siapa yang akan memberi contoh kami budi pekerti yang halus”
“Jangan kawatir wahai saudaraku, kelak akan ada penggantiku setelah kepergianku, anakku yang ada di dalam kandungan istriku Dewi Sekardadu yang akan membimbing kalian”
Pembicaraan Syeh Maulana dengan pengikutnya ini memang terdengar oleh patih Bajul Sengara.
Sebelum meninggalkan Blambangan Syeh Maulana Ishaq pamit pada istrinya, “Istriku aku akan pergi meninggalkan Blambangan, bukan aku tidak sayang kepada engkau, akan tetapi demi kedamaian kita semua, dan demi mencegah pertumpahan darah diantara kita, maka relakan aku pergi meninggalkan Blambangan”.
Dewi Sekardadu melepas kepergian suaminya dengan hati lulu menangis, dan cucuran air mata yang membasahi pipinya.
Beberapa bulan setelah kepergian suaminya, Dewi Sekardadu melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan ganteng. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu suka kepada bayi tersebut dan telah melupakan Syeh Maulana Ishaq, akan tetapi karena hasutan patih yang telah mendengar apa yang dikatakan Syeh Maulana Ishaq pada pengikutnya di saat akan meninggalkan Blambangan, juga pada waktu itu, Blambangan mulai diserang wabah kembali, patih tersebut mengatakan bahwa kelak anak ini akan membawa petaka di Blambangan. Patih Bajul Sengara mengatakan pada Prabu Menak Sembuyu bahwa wabah yang datang kembali ini ada hubungannya dengan lahirnya anak Dewi Sekardadu. Prabu Menak Sembuyu terhasut oleh perkataan Patih Najul Sengara, bayi yang baru lahir tersebut dimasukkan dalam peti mati dan dihanyutkan ke tengah samudra.
Dewi Sekardadu yang baru ditinggalkan suaminya, sekarang mendapatkan kenyataan harus berpisah dari anaknya yang baru dilahirkan, apalagi anak tersebut dihanyutkan ke tengah samudra. Ibu mana yang tidak sedih akan kenyataan ini. Semakin lama kesedihan yang dirasa menggerogoti jiwa dan kesehatannya, akhirnya Dewi Sekardadu meninggal dunia.
SYEIKH MAULANA MALIK IBRAHIM
Syeikh Maulana Malik Ibrahim / Sunan Gresik / Syeikh Maghribi |
Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka, bersama 40 anggota rombongan yang menyertainya, Malik mengarungi samudera berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa Leran, Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan Majapahit.
Tiba di Gresik Syeikh Malik kemudian juga dikenal sebagai Sunan Gresik. Di sana ia mulai melancarkan dakwahnya. Kedatangannya menyebarkan kesejukan bagi penduduk desa itu. Tak pernah tangannya berat untuk menolong orang. Ia juga mempunyai kepandaian mengobati berbagai penyakit.Sebagian besar masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu, ”agama rasmi” Kerajaan Majapahit. Sunan melalukan sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Ia menjual makanan dengan harga murah. Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Syeikh Malik melangkah ke tahap berikutnya: menjadi tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi ”dewa penolong”. Apalagi, ia tak pernah mahu dibayar.
Di tengah komuniti Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal. Ia memperlakukan semua orang sama darjat. Beransur-ansur, jumlah pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan masjid. Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Syeikh Malik punya kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki ”Kakek Bantal”.
Setelah pengikutnya terus bertambah, Syeikh Malik merasa belum puas sebelum berjaya mengislamkan Raja Majapahit. Ia paham betul, tradisi rakyat Jawa yang akan selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Kerana itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang sangat strategik.
Tetapi Syeikh Malik tahu diri. Kalau dia terus berdakwah kepada raja, pasti tak akan diendahkan, karena maqamnya lebih rendah. Kerana itu ia meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Sumber lain menyebutkan Kerajaan Cermain tak lain adalah Kerajaan Kedah, di Malasyia. Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi yang berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-cabanglah cerita mengenai ”Raja Majapahit” itu.. Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V. Penguasa Majapahit itu akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total. Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran. Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil pengawalnya akhirnya berjaya pulang ke negeri mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan kegagalan ”misi” itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419 M.
KISAH BERAS DAN PASIR
Suatu hari dalam perjalanan dakwah ke sebuah dusun yang diberkahi
dengan tanah subur, Syekh Maulana Malik Ibrahim bersama seorang muridnya
singgah di sebuah rumah. Rumah itu milik orang kaya. Menurut
desas-desus pemilik rumah itu amat kedekut.Padahal si empunya rumah adalah orang berada yang memiliki bertan-tan beras. Halaman rumahnya luas. Di sana tersusun berkarung-karung beras hasil pertanian. Rupanya Syekh Maulana Malik Ibrahim ingin menemui si empunya rumah yang tak lain adalah salah seorang muridnya. Ia ingin menasihati muridnya agar meninggalkan sifat terkeji itu.
Orang kaya tersebut menerima dengan ramah kunjungan Syekh Malik. Dihidangkanlah jamuan yang baik bagi Syekh Malik. Sesaat berselang, datanglah seorang pengemis, perempuan tua, ke hadapan orang kaya itu.
“Tuan, saya lapar sekali, bolehkah
saya minta sedikit beras,” ujar perempuan tua itu sambil menjeling beras
yang berrada di halaman.
“Mana beras? Saya tidak punya beras, karung-karung itu bukan beras, tapi pasir,” ujar orang kaya itu.
Pengemis tua tertunduk sedih. Ia pun beranjak pergi dengan langkah
kecewa. Kejadian itu disaksikan langsung oleh Syekh Malik. Ternyata apa
yang digunjingkan orang tentang kedekut muridnya ini benar adanya.
Syekh Malik bergumam dalam hati, dan iapun berdo’a. Pembicaraan yang
sempat tertunda dilanjutkan kembali.Tiba-tiba ramah-tamah antara murid dan guru itu terhenti dengan teriakan salah seorang pembantu orang kaya itu.
“Celaka tuan, celaka! Saya tadi melihat beras, ternyata beras kita sudah berubah jadi pasir. Saya periksa karung lain, isinya pasir juga. Ternyata tuan, semua beras yang ada di sini telah menjadi pasir!” Pembantu itu dengan suara bergetar melaporkan.Orang kaya itu terkejut, segera ia beranjak dari duduknya, dihampirinya beras-beras yang merupakan harta kekayaannya itu. Ternyata benar, beras itu telah berubah menjadi pasir. Seketika tubuh orang kaya itu lemas. Ia pun bersimpuh menangis.
Syekh Malik lalu menghampirinya. “Bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa beras yang kau miliki itu pasir, kenapa kau kini menangis?” Syekh Malik menyindir muridnya yang kikir itu.
“Maafkan saya Sunan. Saya mengaku salah. Saya berdosa!” Si murid meratap bersimpuh di kaki Syekh Malik.
Syekh Malik tersenyum, “Alamatkan maafmu kepada Allah dan pengemis tadi. Kepada merekalah permintaan maafmu seharusnya kau lakukan,” ujar Syekh Malik lagi.
SUNAN BONANG (MAKDUM IBRAHIM)
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) |
Sunan Bonang
adalah anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik
Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir
diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila,
puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan
Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta.
Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai
pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang
mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid
Sangkal Daha.
Ia
kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar
15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat
pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar.
Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak,
dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan
Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke
daerah-daerah yang sangat sulit.
Di
masa hidupnya, beliau juga termasuk penyokong dari kerajaan Islam
Demak. serta ikut pula membantu mendirikan Masjid Agung di kota Bintoro
Demak. Adapun mengenai filsafat Ketuhanannya, adalah :
“Adapun
pendirian saya adalah, bahwa imam tauhid dan makrifat itu terdiri dari
pengetahuan yang sempurna, sekiranya orang hanya mengenal makrifat
saja, maka belumlah cukup, sebab ia masih insaf akan itu. Maksud saya
adalah bahwa kesempurnaan barulah akan tercapai hanya dengan terus
menerus mengabdi kepada Tuhan. Seseorang itu tiada mempunyai gerakan
sendiri, begitu pula tidak mempunyai kemauan sendiri. dan seseorang itu
adalah seumpama buta, tuli dan bisu. Segala gerakannya itu datang dari
Allah.”
Tak
seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang
memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks.
Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan
arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang
piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat)
dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut
disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai
masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid
utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil”
yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr
(wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau
atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan
Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan
estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator
gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang.
Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan
pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam
pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius
penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan
tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa
ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan).
Sunan Bonang acap berkunjung ke
daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di
Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.SULUK SUNAN BONANG
SALIK DAN GURU MURSYID |
(1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
Apa itu suluk? suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu (Ibid).
Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
Suluk Jebeng
Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:
Puncak ilmu yang sempurnaSatu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketauilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Karena serba diliputi rahasia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan
Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna
Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai julukan kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972). Mungkin ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12). Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu ”wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu agama.
Suluk Wujil
Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.
Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.
Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:
1Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain.
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahasia terdalam
2
Sepuluh tahun lamanya Sudah
Wujil Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf
3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar
5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada
Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab:
6Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan, maka ’pengetahuan diri’ dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ’Pengetahuan diri’ di sini terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud penulis sufi ialah ‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai ‘hamba-Nya’. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan ”Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah).
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tinggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat
7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning
8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan
9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”
…
11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”
Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk
mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang
disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan
para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena
pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya
cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani
1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’,
yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian
jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya
al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan
(takhliya al-sirr).Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.
Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang menulis:
12Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar-benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat 15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini
17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan:
20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
35Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
38Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan
Inilah gerangan suatu madahTamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetulkan jalan tempat berpindah
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
…
La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
(Doorenbos 1933:33)
Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya: ”Bagaimana bayang-bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa ”Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”.
Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang.
Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.
Syekh Malik kembali berdo’a, dan dengan izin Allah, beras yang telah berubah menjadi pasir itu menjadi beras kembali. Hidayah dan kekuatan yang berasal dari Allah memungkinkan kejadian itu.
Orang kaya tersebut tidak membohongi lisannya. Ia berubah menjadi dermawan, tak pernah lagi ia menolak pengemis yang datang. Bahkan ia mendirikan mushalla dan majelis pengajian serta fasilitas ibadah lainnya.
Itulah sekelumit kisah tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Click untuk Full Size Image |
“Walisongo” berarti sembilan orang wali”
Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan
oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808
Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana
Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad
Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan
Maghribi); Maulana Malik Isra’il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali
Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir. Dari
nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang
dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu
- Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim – Gapura Wetan, Gresik
- Sunan Ampel atau Raden Rahmat – Ampeldenta, Surabaya
- Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim – Tuban
- Sunan Drajat atau Raden Qasim – Paciran
- Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq -Kudus
- Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin – Giri, Gresik
- Sunan Kalijaga atau Raden Said – Kadilangu, Demak
- Sunan Muria atau Raden Umar Said – Kolo, Gunung Muria
- Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah – Gunung Sembung, Cirebon
Click untuk Full Size Image |
Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan, majlis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Wali Songo tidak hidup dalam suatu masa. Namun demikian, diantara kesembilan wali ini, mereka semua mempunyai sebuah bentuk ikatan yang amat erat, jika tiada hubungan darah diantara mereka, pasti ada hubungan diantara Guru dan Murid.. Bila ada seorang anggota majlis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:
- Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
- Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana ‘Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).
- Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
- Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
- Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
- Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).
- Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
- Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar