Al-Ghazali memaparkan bahwa dalam setiap kefakiran, penyakit, rasa takut danmusibah di dunia, terdapat lima unsur yang harus direspon dengan rasa suka cita dan syukur atasnya.
Pertama, dalam setiap musibah
yang menimpa, pastilah dapat dibayangkan adanya musibah tingkatnya lebih
dahsyat dari itu. Maka seseorang yang tertimpa musibah hendaknya
bersyukur karena tingkat musibah yang menimpanya bukanlah yang paling
dahsyat. Masih ada musibah yang lebih dahsyat yang menimpa terhadap orang lain.
Kedua, ada kemungkinan bahwa
musibah yang menimpanya berkaitan dengan agama dan keimanannya. Maka
seseorang harus bersyukur bahwa musibah yang menimpanya hanyalah musibah
di dunia, bukan sebuah musibah yang berkaitan dengan agama, bukan pula
krisis akidah dan keimanan, atau bencana kemusyrikan dan kekafiran.
Ada seorang lelaki berkata kepada Sahl radliyallah anhu,
“Seorang pencuri masuk ke rumahku dan mengambil barang-barangku”. Sahl
radliyallah anhu berkata: “Bersyukurlah pada Allah. Bayangkan, andaikan
ada syaithan masuk ke hatimu, dan mengambil akidah ketauhidanmu, apa
yang hendak kau perbuat ?”
Ketiga, tiada satupun siksa
kecuali dapat digambarkan bahwa siksa tersebut bisa ditunda hingga di
akhirat. Jika musibah sebagai bentuk siksa yang seharusnya ditimpakan di
akhirat, disegerakan di dunia, maka tentunya hal ini akan meringankan
musibah di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu alaihi
wasallam.
إذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ
فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ
حَتَّى يُوَافِيَ رَبَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
(رواه الترمذي)
Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hambanya, maka Dia
akan menyegerakan siksanya di dunia. Dan jika Allah menghendaki
kejelekan pada seorang hambaNya, maka Dia akan menahan siksanya hingga
hamba tersebut mendapatkannya dari Tuhannya di hari Kiamat. (HR.
Turmudzi)
Keempat, bahwa semua musibah,
kepastian terjadinya telah divonis di lauhul mahfudh. Maka dengan
terjadinya sebuah musibah, berarti satu di antara kepastian takdir telah
terjadi, sehingga terlepaslah beban dari sebagian musibah atau
keseluruhannya yang bakal menimpa kita selama umur kita. Dan, terbebas
dari beban musibah yang akan terjadi merupakan sebuah nikmat yang harus
disyukuri.
Kelima, terjadinya musibah
menyebabkan dampak positif terhadap orang tertimpa olehnya sehingga
menimbulkan pahala yang agung. Seseorang yang berniat melakukan
kemaksiatan, namun ia urung melakukannya, karena tiba-tiba ia terserang
penyakit hingga tak kuasa beranjak dari tempat tidurnya. Den
gan musibah berupa penyakit
yang menimpanya, ia terhindar dari perbuatan maksiat, sehingga ia harus
mensyukurinya. Begitu pula, jika seseorang ditakdirkan dalam kemiskinan,
terkadang juga harus mensyukuri keberadaanya, sebab bisa jadi saat ia
dianugerahi harta berlimpah, sangat besar kemungkinan ia melenceng dari
konsistensi ubudiyah. Sebab, memang demikianlah watak dasar manusia,
sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي
الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ
خَبِيرٌ بَصِيرٌ (الشورى 27)
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mer
eka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunka
n apa yang dikehendaki-Nya
dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan)
hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat. (QS. Asy-Syura 27)
Selain itu, jika sebuah musibah menimpa seorang hamba, dan ia
sabar serta rela menerima garis takdirnya, maka Allah akan membalasnya
dengan pahala yang agung. Allah berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (الزمر 10)
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Dan, pahala yang ditimbulkan dari kesabaran dalam menerima musibah, adalah nikmat yang patut disyukuri.
Demikianlah, musibah dan
bencana, walau bagaimanapun telah terjadi. Garis takdir-Nya pastilah
akan terlaksana. Tak akan ada yang mampu mencegah dan menghalangi.
Kewajiban kita hanyalah senantiasa berintrospeksi dan melakukan koreksi
diri. Serta senantiasa berharap atas ampunan dan rahmat-Nya. Dan,
permohonan doa agar lapang dada dan rela menerima, atas segala yang
menimpa kita. Semoga tongkat hidayah-Nya selalu menuntun kita dalam
menyusuri jalanan yang diridloiNya. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar