Selasa, 12 Februari 2013

LIMA HIKMAH DALAM SETIAP MUSIBAH

Al-Ghazali memaparkan bahwa dalam setiap kefakiran, penyakit, rasa takut danmusibah di dunia, terdapat lima unsur yang harus direspon dengan rasa suka cita dan syukur atasnya.

Pertama, dalam setiap musibah yang menimpa, pastilah dapat dibayangkan adanya musibah tingkatnya lebih dahsyat dari itu. Maka seseorang yang tertimpa musibah hendaknya bersyukur karena tingkat musibah yang menimpanya bukanlah yang paling dahsyat. Masih ada musibah yang lebih dahsyat yang menimpa terhadap orang lain.

Kedua, ada kemungkinan bahwa musibah yang menimpanya berkaitan dengan agama dan keimanannya. Maka seseorang harus bersyukur bahwa musibah yang menimpanya hanyalah musibah di dunia, bukan sebuah musibah yang berkaitan dengan agama, bukan pula krisis akidah dan keimanan, atau bencana kemusyrikan dan kekafiran.

Ada seorang lelaki berkata kepada Sahl radliyallah anhu, “Seorang pencuri masuk ke rumahku dan mengambil barang-barangku”. Sahl radliyallah anhu berkata: “Bersyukurlah pada Allah. Bayangkan, andaikan ada syaithan masuk ke hatimu, dan mengambil akidah ketauhidanmu, apa yang hendak kau perbuat ?”

Ketiga, tiada satupun siksa kecuali dapat digambarkan bahwa siksa tersebut bisa ditunda hingga di akhirat. Jika musibah sebagai bentuk siksa yang seharusnya ditimpakan di akhirat, disegerakan di dunia, maka tentunya hal ini akan meringankan musibah di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu alaihi wasallam.

إذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ حَتَّى يُوَافِيَ رَبَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
(رواه الترمذي)
Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hambanya, maka Dia akan menyegerakan siksanya di dunia. Dan jika Allah menghendaki kejelekan pada seorang hambaNya, maka Dia akan menahan siksanya hingga hamba tersebut mendapatkannya dari Tuhannya di hari Kiamat. (HR. Turmudzi)

Keempat, bahwa semua musibah, kepastian terjadinya telah divonis di lauhul mahfudh. Maka dengan terjadinya sebuah musibah, berarti satu di antara kepastian takdir telah terjadi, sehingga terlepaslah beban dari sebagian musibah atau keseluruhannya yang bakal menimpa kita selama umur kita. Dan, terbebas dari beban musibah yang akan terjadi merupakan sebuah nikmat yang harus disyukuri.

Kelima, terjadinya musibah menyebabkan dampak positif terhadap orang tertimpa olehnya sehingga menimbulkan pahala yang agung. Seseorang yang berniat melakukan kemaksiatan, namun ia urung melakukannya, karena tiba-tiba ia terserang penyakit hingga tak kuasa beranjak dari tempat tidurnya. Den

gan musibah berupa penyakit yang menimpanya, ia terhindar dari perbuatan maksiat, sehingga ia harus mensyukurinya. Begitu pula, jika seseorang ditakdirkan dalam kemiskinan, terkadang juga harus mensyukuri keberadaanya, sebab bisa jadi saat ia dianugerahi harta berlimpah, sangat besar kemungkinan ia melenceng dari konsistensi ubudiyah. Sebab, memang demikianlah watak dasar manusia, sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ (الشورى 27)
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mer

eka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunka

n apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat. (QS. Asy-Syura 27)

Selain itu, jika sebuah musibah menimpa seorang hamba, dan ia sabar serta rela menerima garis takdirnya, maka Allah akan membalasnya dengan pahala yang agung. Allah berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (الزمر 10)
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Dan, pahala yang ditimbulkan dari kesabaran dalam menerima musibah, adalah nikmat yang patut disyukuri.

Demikianlah, musibah dan bencana, walau bagaimanapun telah terjadi. Garis takdir-Nya pastilah akan terlaksana. Tak akan ada yang mampu mencegah dan menghalangi. Kewajiban kita hanyalah senantiasa berintrospeksi dan melakukan koreksi diri. Serta senantiasa berharap atas ampunan dan rahmat-Nya. Dan, permohonan doa agar lapang dada dan rela menerima, atas segala yang menimpa kita. Semoga tongkat hidayah-Nya selalu menuntun kita dalam menyusuri jalanan yang diridloiNya. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar