Selasa, 12 Februari 2013

MISTERI AHLI HIKMAH

Berbicara tentang ahli hikmah, maka tidak bisa lepas dari dunia pesantren, karena dari sinilah tempat lahir dan tukbuhnya ahli hikmah yang penuh misteri (bagi sebagian orang), padahal tidaklah demikian jika kita mau menelusurinya lebih mendalam lagi.
Pesantren telah ada sejak ratusan tahun lalu di Indonesia, dan selama itu telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakul karimah, mandiri dan istiqomah. Hanya saja bersamaan dengan itu semua, banyak juga pesantren-pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu yang bukan bersumber dari ajaran Islam bahkan melanggar syariat Islam, mereka menyebutnya dengan ilmu kebatinan atau “ilmu hikmah”, seperti: ilmu kekebalan, ilmu pellet, ilmu laduni, ilmu bisa melihat dan menangkap jin, mampu mengundang khodam (jin) dan memasukkannya ke dalam barang-barang tertentu, misalnya isim, rajah, wafaq, cincin dan lain sebagainya. Sedangkan ustadz atau kyai yang mengjarkan dan menyebarkan ilmu-ilmu tersebut disebut “ahli hikmah”.
Karena itu, tidaklah heran jika orang berbondong-bondong dating ke Pesantren bukan untuk belajar agama Islam, tetapi mereka berkonsultasi dengan “Ahli Hikmah” tentang problema yang menimpa mereka dan akhir dari solusinya mereka diisi ilmu kebatinan atau diberi sesuatu berupa isim, wafaq dan wirid-wirid buatan agar permasalahan seta cita-cita mereka bisa tuntas dan tercapai.
Mereka meyakini ilmu “hikmah” ini adalah ilmu pemberian khusus dari Allah yang diberikan hanya kepada orang-orang tertentu, sebagaimana firman Allah.

“Allah menganugerahkan Al Hikmah
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugerahkan hikmah, ia benar-benar telah di anugerahi karunia yang banyak dan hanya orang-orang yang berakllah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah [2]: 269).



Ternyata kalau membaca dan menela’ah tafsirnya, kita akan menemukan makna yang dimaksud dalam ayat itu sangat berbeda sekali dengan pemahaman mereka. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan definisi dari kata al-hikmah dalam ayat itu, diantaranya: arti hikmah adalah takur kepada Allah, ada yng mengatakan al-Kitab dan kepahaman, ada juga yang mengatakan kepahaman terhadap agama Allah. (Tafsir Ibnu Katsir I/700).
Begitulah realitanya, pengertian al-hikmah ini menjadi bias dan tidak ada batasannya, jika ada seseorang yang mengaku telah memiliki ilmu tertentu seperti bisa memanggil raja jin, punya budak/khodam dari kalangan jin, bisa membuat zimat dan wafaq untuk kekebalan atau asihan/pellet, kemudian mereka meyakini bahwa itu adalah ilmu pemberian dari Allah sebagai ilmu hikmah, padahal dalam proses mendapatkannya ada unsur-unsur kesyirikan, melecehkan al quran dan ritual-ritual yang bertentangan dengan syariat. Bagaimana mungkin itu adalah ilmu hikmah yang datang dari Allah.

LALU SIAPA AHLI HIKMAH DAN BAGAIMANA MENGETAHUINYA?


Kita bisa mengetahuinya dari perilaku orang tersebut. Jika prilakunya itu tidak sesuai dengan syari’at dan Sunnah Rosululloh pasti itu bukan hikmah yang menjalankan aktivitas sihir atau sejenisnya. Orang yang mendapatkan hikmah dari Alloh itu adalah sebuah hasil dari amalan yang istiqomah, yang didasari ilmu syari’at. Dan ia sangat kuat memegang sunah-sunah Nabi dalam memahami dan mengamalkannya dengan benar, tanpa dicampuri oleh perbuatan syrik dan bid’ah.
Memang sangat disayangkan kerancuan dan salah kaprah mengenai pemahaman “ahli hikmah” sudah terjadi di sebagian masyarakat luas, samar bagi mereka untuk membedakan; mana yang benar-benar mendapatkan ilmu hikmah dari Allah dan ahli hikmah sempalan.
Sehingga realitanya banyak dari masyarakat yang telah terkecoh bahkan terkecoh bahkan tertipu oleh iklan dan penampilan orang-orang yang mengaku mendapatkan ilmu hikmah, mengakibatkan tidak sedikit orangyang terjerembab di kubang kesyirikan (penzholiman kepada Allah).
Di antara usaha penyebaran kesyirikan yang dilakukan oleh para “ahli hikmah sempalan” adalah membuat dan menyebarkan jimat, rajah dan wafaq untuk kekebalan, asihan, laris dagangan atau yang lainnya.
Padahal Allah sangat membenci dan tidak meridhoi perkara-perkara tersebut. Hal ini ditegaskan dalam sabda utusan-Nya.

“Sesungguhnya jampi, tamimah (jimat/rajah) dan tiwalah (sesuatu yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat menjadikan seorang istri mencintai suaminya atau seorang suami mencintai istrinya) itu adalah kesyirikan”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
 

Dalam hal ini para ulama telah merinci hokum orang yang memakai zimat, rajah dan wafaq:
  1. Terjatuh pada syirik besar bila disertai keyakinan bahwa zimat itu sendiri yang memberikan pengaruh selain Allah, yang bisa menolak mudharat dan mendatangkan manfaat, seta bisa membentengi setiap orang yang memakainya. Maka pelakunya telah keluar dari Islam, hangus seluruh amalan-amalan sholeh yang telah ia perbguat dan ia kekal di dalam api neraka bila mati belum bertaubat dari sesyirikannya.
  2. Terjatuh kepada syirik kecil bila dia meyakini bahwa jimat itu hanya sebagai sebab semata, adapun yang mendatangkan manfaat dan menolak segala bentuk malapetaka yang menimpanya adalah Allah.
Syrik kecil tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam akan tetapi merupakan dosa yang sangat besar dan paling buruk di antara dosa-dosa besar lainnya. Karena itulah Ibnu Mas’ud lebih menyukai (mengangap lebih ringan) untuk bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan berbohong (dosa besar), daripada jujur tapi bersumpah dengan selain nama Allah (syrik kecil).
Bahkan sebagian para ulama tauhid menyebutkan bahwa dosa syrik, baik syirik besar atau syirik kecil tidak akan diampuni Allah jika tidak ditaubati di dunia, karena keumuman.
Firman Allah :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. An-Nisa [4]: 48)


“Hanya saja” kata Ibnu Taimiyah “pelaku syrik kecil tidak kekal di neraka dan akan masuk surga”. (Ibnu Taimiyah “Ar-Rodd ‘alal Bakri” I/301)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar