Salah satu buku yang sangat bagus untuk dibaca yaitu Buku tersebut
berjudul “Di Mana Allah” karya Muhammad Hasan Al-Homshi. Beberapa
halaman awalnya sudah hilang, termasuk pengantar, tentang penulis, dan
daftar isi. Sehingga saya tidak tahu sedikit pun tentang Muhammad Hasal
Al-Homshi. Meskipun begitu, ketika saya membaca buku ini, ternyata
bernuansa tasawuf.
Salah satu tokoh yang dihadirkan dalam buku ini adalah Syekh Abdul
Qadir al Jailani, seorang tokoh Sufi dan ulama Tasawuf besar asal
Jailan, Iran. Beliau merupakan pendiri dan penyebar salah satu tarekat
terbesar di dunia, yaitu Tarekat Qodiriyah.
Muhammad Hasan Al-Homshi, sang penulis, cukup banyak memaparkan
tentang inti ajaran Syekh Abdul Qadir. Ajaran beliau berangkat dari
kegelisahannya melihat umat Islam yang senantiasa melakukan shalat,
puasa, dan pergi haji, tapi semakin jauh dari nilai-nilai luhur Islam.
Untuk itu, Syekh Abdul Qadir menyimpulkan bahwa permasalahannya berasal
dari dalam diri manusia.
Syekh Abdul Qadir juga mengkritik praktik Islam warisan. Bagaimana
pun, berislam tidak bisa diperoleh melalui warisan dan simbol-simbol
fisik seperti bersarung lengkap dengan baju Koko dan Kopiah. “Beragama
Islam artinya memasrahkan dirimu (lahir-bathin) kepada Allah, dan
menyerahkan kalbumu semata-mata kepada-Nya,” begitulah sabda Rasulullah
yang mengilhami Syekh Abdul Qadir.
Untuk itu, ada 2 hal yang melandasi inti ajaran Tarekah Qadiriyah ini, yaitu:
Berserah diri (lahir-bathin) kepada Allah. Seorang muslim wajib
menyerahkan segala hal kepada Allah, mematuhi perintah-Nya, dan menjauhi
larangan-Nya.
Mengingat dan menghadirkan Allah dalam kalbunya. Caranya, dengan menyebut Asma Allah dalam setiap detak-nafasnya. Bagaimana pun, dzikrullah adalah suatu perbuatan yang mampu menghalau karat lupa kepada Allah, menggerakan keikhlasan jiwa, dan menghadirkan manusia duduk bertafakur sebagai hamba Allah. Hal ini merujuk pada hadist riwayat Ibnu Abid Dunya dari Abdullah bin Umar berikut:
Sebenarnya setiap sesuatu ada pembersihnya, dan bahwa pembersih hati manusia adalah berdzikir, menyebut Asma Allah, dan tiadalah sesuatu yang lebih menyelamatkan dari siksa Allah kecuali dzikrullah.
Mengingat dan menghadirkan Allah dalam kalbunya. Caranya, dengan menyebut Asma Allah dalam setiap detak-nafasnya. Bagaimana pun, dzikrullah adalah suatu perbuatan yang mampu menghalau karat lupa kepada Allah, menggerakan keikhlasan jiwa, dan menghadirkan manusia duduk bertafakur sebagai hamba Allah. Hal ini merujuk pada hadist riwayat Ibnu Abid Dunya dari Abdullah bin Umar berikut:
Sebenarnya setiap sesuatu ada pembersihnya, dan bahwa pembersih hati manusia adalah berdzikir, menyebut Asma Allah, dan tiadalah sesuatu yang lebih menyelamatkan dari siksa Allah kecuali dzikrullah.
Kedua hal ini, menurut Syekh Abdul Qadir, akan membawa seorang
manusia senantiasa bersama Allah. Sehingga segala aktivitasnya pun
bernilai ibadah. Lebih lanjut, beliau juga menandaskan bahwa keimanan
ini merupakan landasan bagi terwujudnya tatanan sosial yang lebih baik
lagi. Lebih jauh, sebuah tatanan negara yang Islami dan memenuhi aspek
kebaikan universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar