Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapandalam
memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang
berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing
tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu
sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang
yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu
batas pengertian sunnah.Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran
sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka
terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka
sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian
sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak
berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa
Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian
memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir
ra. bahwa Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan
dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata
yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang
terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk
ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam
Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda:
‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh
pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis
jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya
sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11
hal.61…Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada
Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn
Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah
dan Bid’ah dhalalah. Nabi saw mengetahui bahwa ummatnya bukan hidup
untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan
muncul kemajuan zaman ─modernisasi, merajalela kemaksiatan dan lain
sebagainya─ maka dibolehkannya hal-hal yang baru yang diadakan ─selama
berada dalam kebaikan dan tidak keluar dari garis-garis yang telah
ditentukan oleh syariát Islam─ demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam
kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan
bisa dipakai hingga akhir zaman.
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus
untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal
dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak
menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan
perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in. Begitu juga
kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan;
‘Pengertian berdasarkan keumuman lafadh, bukan ber- dasarkan kekhususan
sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas
bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw., berhadap-hadapan dengan
bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan
petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan
kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan
(sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah,
sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan
hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu
berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti Jalan Rasulallah
saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah
dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. . Contoh firman
Allah swt. dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku
sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah
itu’ .
Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun
berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak
berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada
keridhoan Allah swt. Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76
mengatakan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku
dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti
adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh
orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan
maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam
tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa
riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah,
dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga
mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulallah saw. dalam
menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu
persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak
diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh
orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan
tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar
kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw.
dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang.
Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat
mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw.
mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana
yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan
Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan
Sunnah Rasulallah saw., itulah
yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang
dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulallah saw.
termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang
dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat
mengetahui bagaimana cara Rasulallah saw. membiarkan atau menerima
kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali
kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak
ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan
dilakukan oleh beliau saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih
mustahak diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang
didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita
bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu
tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak
mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan,
bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun
umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak
diperintahkan secara khusus oleh Rasulallah saw.! Mengenai persoalan
itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa
Rasulallah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan,
dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.
Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakannya
berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukannya
itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum
diserukan oleh Rasulallah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga
mereka berpedoman pada firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77:
‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh
keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa
masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa,
karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang
telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil
oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan
dengan sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak
bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka
prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan
syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah
saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut
Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah
Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw. yang
lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut
pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan
nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan
berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu
bid’atin dholalah”), serta
tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan
sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena
bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja- kan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain
(keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan
sikap Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal
kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para
sahabatnya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau
saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah
wafatnya Rasulallah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra,
Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana
amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw dan
mereka kategorikan atau ucapkan sendiri
sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa
sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan
tidak ada kata bid’ah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah
para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa
jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة
ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِْمَا
وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah
yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan
yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
.
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً
اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْر مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara
baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah
dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung
kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan
tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan: “
Imam Syafi’i berkata, bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah
(terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan
sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah
tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai
shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ “.
Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi rahimahullah
berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan
(Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: ‘seburuk
buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah
dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah),
yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan
Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh
telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: ‘Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan
pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari
pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam
islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya’ (Shahih Muslim
hadits no.1017–red) dan hadits ini merupakan
inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubi juz 2 hal. 87)
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela.
Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam
Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas
lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafi, Imam
Ibnul-‘Arabi, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi
rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits: ‘Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan
pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari
pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….’, hadits
ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan
ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat
pengecualian dari sabda beliau saw : ‘
semua
yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh
yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi “ bahwa
Ulama
membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub,
bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib
contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang
menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila
dilakukan dan tak mendapat dosa bila di tinggalkan) adalah membuat
buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren. Contoh
bid’ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh
dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan
kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah
tarawih bahwa ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ ”. (Syarh Imam Nawawi ala
shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318
sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan
dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu
dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah
dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara
sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan
jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka
dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang
mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil
Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih;
Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam
Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam
Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih
Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu
Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan
tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada
yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh
kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang
tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah
mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh
diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau
haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang
belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya
dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta
pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan
oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah
haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan
keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan
ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya
meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum
muslimin dalam shalat tarawih bermakmum pada seorang imam adalah haram.
Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’. (
Shohih Bukhori hadits nr.1906)
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan
sebagainya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman
Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu
agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah
sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk
mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik
itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab
dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung
dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada
zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar
pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan
Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah
Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam (HR,Bukhori hadits nr.873)
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya,
memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan
tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah
dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah
swt. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan
cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya
Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur,
tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, roket-roket dan persenjataan
modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru, yang
berkaitan dengan peribadatan, seperti mengadakan bacaan syukuran waktu
memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang
tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu
memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang
mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidupnya Rasulallah saw.
serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji
banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya
Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan
hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga
orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup
(beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk
manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya
bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada
masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak
menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat),
maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman
sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran
dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah tercantum sebelumnya bahwa para ulama diantaranya
Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra.
serta para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan
ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at,
semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan
dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf
sepeninggal Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan
Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan
setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan
dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal
tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak
menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh
generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan
zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada
masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu
Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama
terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin
Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya. Diantara
kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak
disebuah tempat dekat gunung ‘Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah
bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar
Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang
mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina),
tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama
sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua-
nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha
memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak
dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin
pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu
sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya”.
(perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab
Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan
oleh isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup
makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu,
tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash
sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru
(bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat
yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya
jilid 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat
Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah
menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini
Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari
Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam
masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang
duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat
dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair
(mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah
mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak
mengamalkannya.
Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan
sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa
bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini
disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan
oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas
perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah
hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah
melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan
istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh
yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut
disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem) bahwa apa-apa
yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil
bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap
orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i
(Rasulallah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan
petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan
pahala bagi pelakunya.
Firman Allah swt. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).
Allah swt. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
وَعَنْ
أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ
فَاعِلُهُ
رواه مسلم)
Artinya: ‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia
memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan
tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan
yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa
orang-orang yang mengamalkan nya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”.
Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari
Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat
sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh
Rasulallah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan
baik yang tidak terjadi pada masa Rasulallah saw dan Khulafa’ur
Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan
kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah
sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara
keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang
telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan
tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya
gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan
pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada
semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik
dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulallah
saw. berikut ini: “Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah
para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan
(baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud
Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus
.Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal
Rasulallah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan
makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “.
Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama
dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf
(dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari
generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan
itu) kepada Rasulallah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus
kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka
(ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus kemaslahatan ummat Islam,
khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang
mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra.
menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan
Rasulallah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah ”
. Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam
Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang
salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits
kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua
perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar
syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata
bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara
bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman
yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu
setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at.
Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang
diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud
yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar
syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua
adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan
dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat diterima
walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah
dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada
abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah
mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah
yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak
bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang
lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya
dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah
diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua
perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah swt. dan menjauhi yang
mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari
pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia
maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada
kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan
orang yang mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya:
semua bid’ah dholalah
dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan
manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar
ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima
kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual
kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan
sunnah Rasulallah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain
tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah
peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara
sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara
muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan
hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar
Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi
manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan,
sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun
tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili
hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi
hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak
melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak
akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang
bersangkutan telah memberi maaf.
Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai
amal kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa
mereka sendiri, bukan perintah Allah swt. atau Nabi saw., dan bagaimana
Rasulallah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya
beberapa hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang
baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan,
diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. selama hal ini tidak
merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah
boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh
agama dan mendapat pahala.
a. Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulallah saw. bertanya pada Bilal ra
seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling
engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar
suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang
paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam
keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR
Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya
sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang
mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulallah saw. meridhoi
prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah
adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu
dan sholat dua raka’at demi karena Allah swt. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits
tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu
ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulallah
saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan
oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
b. Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai
perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela
sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul
Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab
telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya
sendiri-sendiri. Rasulallah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak
pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum
muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak
melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
c. Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulallah saw. Ketika
berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu
liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu
dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban
mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan
sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulallah
saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan
menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulallah saw. berkata : ‘Aku melihat
lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan: ‘ Hadits
tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam
sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika
ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan
dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw.
Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara
bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan
juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain
dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan
kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu
memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak
menimbulkan keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna
al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk
mengetahui makna al-bid’ah
d. Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas
bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk
kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya)
al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji
hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah).
Setelah Rasulallah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda :
‘Siapakah diantaramu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ?
Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu
yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang
percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil
terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulallah
saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan
cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya
(amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
e. Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari
‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulallah saw. menugaskan
seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal
serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu
membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah.
Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan
persoalan itu kepada Rasulallah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah
kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang
bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat
ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu
disampaikan kepada Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan
kepadanya bahwa Allah menyukai nya’ .
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak
pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw.. Itu hanya merupakan prakarsa
orang itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulallah saw. tidak mempersalahkan
dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan ucapan
“Allah menyukainya”.
f. Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas
bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat
dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah
Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah
Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para
ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya
selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang
lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas
tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku
tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau
mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak
mau mengimami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang
lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang
lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulallah saw. dan
menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulallah
saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau
menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat
Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulallah,
aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu
kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath
mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah
ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut.
Namun Rasulallah saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa
ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan
menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu
perbuatan’. Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab
dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulallah
saw. akan menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang
selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan
alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulallah
saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan
tujuan yang sehat’. Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits
tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca berulang-ulang
Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya.
Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang
bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada
zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu
merupakan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa
perbuat- an itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan
wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang
dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulallah saw. Sedangkan sunnah-sunnah
yang tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw.
bila tidak keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam
kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh
diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah swt.
g. Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il
(keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang
mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul
huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra)
memberitahukan hal itu kepada Rasulallah saw., dalam keadaan orang yang
dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan
Sa’id itu Rasulallah saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada
ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang
disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang mengatakan,
bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul
huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya
seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya
berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama
diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan:
‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca
Qul huwallahu ahad’.
h. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam
Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah
yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu
hari aku bersama Rasulallah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid
Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil
berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa
lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulallah saw.
bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon
kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan
memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat
menggembirakan dari Rasulallah saw. itu disusun atas dasar prakarsa
orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau
diperintahkan oleh Rasulallah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu
sesuai dengan ketentuan syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau
saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
i. Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan
shalat bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang
mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa
Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka
Rasulallah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat
tadi? Jawab seseorang dari kaum; Wahai Rasulallah, akulah yang
mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum
dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka
pintu-pintunya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan
itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan
kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani
‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan
Rasulallah saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a
dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak
pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar
mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulallah saw. tapi
karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Pada hadits-hadits tadi Rasulallah saw. juga tidak melarang orang
untuk berdo’a dalam waktu sholat dengan lafadz-lafadz do’a yang tidak
pernah diajarkan atau diperintahkan oleh beliau saw. dan membaca surah
Al-Ikhlas berulang-ulang baik dalam waktu sholat maupun diluar sholat,
malah beliau memberi kabar gembira bagi orang yang mengamalkannya.
Mengapa justru golongan pengingkar berani mengharamkan, membid’ahkan
munkar orang membaca tahlilan/yasinan berulang-ulang yang mana dimajlis
itu bukan hanya satu surat saja yang dibaca tetapi bermacam-macam surah
dari Al-Qur’an dan do’a-do’a yang baik? Kalau mereka mengatakan sebagai
pengikut para Salaf, mengapa tidak mencontoh bagaimana cara Rasulallah
saw. Raja dan Guru terbesarnya para Salaf menanggapi amalan-amalan
bid’ah (baru) yang telah dikemukakan tadi?
j. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem
pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah swt. atau dengan jalan
bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang
sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam
perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku
tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini
ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang
berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku
tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi
seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku
kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup
menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan
pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat
Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah
al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan.
Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai
dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum
menghadap Rasulallah saw.. Setiba dihadapan Rasulallah saw, mereka
menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu.
Rasulallah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah
itu dapat menyembuhkan’? Rasulallah saw. membenarkan mereka dan ikut
memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
k. Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat
hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada
suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah
mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi.
Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa
kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulallah saw.), tolonglah
sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih
membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”.
(Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang tak tercantum disini, yang meriwayatkan amal
perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang
tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulallah saw.. Semuanya itu
diridhoi oleh Rasulallah saw. dan beliau memberi kabar gembira pada
mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan
oleh Rasulallah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena semua itu bertujuan
baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan mereka
diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan
syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan
berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits
diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak
keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik
hukumnya, apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat muslim
khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan
dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam
Islam. Sebagaimana Rasulallah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi
tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas
prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah
tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh
syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para
sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh
syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulallah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat
orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu
penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama
Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak
pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama
Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang
bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang
menurut kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan,
giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum)
dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah
dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin,
yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana
yang telah kita kenal sekarang ini. Al-Quran waktu zaman Nabi saw. dan
zaman khalifah Abubakar ra, masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit
onta, hafalan para sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan. Namun
dengan adanya pengitaban tersebut, sekarang kita masih mengenal Al-Quran
secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih
mengenal hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan
Abadi. Bila hal tersebut tidak terjadi, maka akan muncul beribu-ribu
Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan
dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka
hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam.
Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw.
berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah
bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan
mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah swt., Islam. ‘Umar bin
Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari
ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi saw.
yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan
mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat
Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan
berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan oleh Rasulallah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu
merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah swt.
membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih
dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua
orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah
Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintahkan supaya
melaksanakan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra.
juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu
yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya;
Itu pekerjaan yang baik!
Untuk lebih detail keterangannya sebagai berikut: Ketika terjadi
pembunuhan besar-besaran atas para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan
Ahli Alqur’an dari sahabat Rasulallah saw. (Ahlul yamaamah) di zaman
Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zaid
bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan
pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus
terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar aku (Abubakar
Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata: Bagaimana
aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar
berkata padaku; Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan
kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan
aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd)
adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat
jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah
Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”. Berkata Zaid: “Demi Allah sungguh
bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak
seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian
berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka
Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun
meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini
aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan
Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768). Riwayat ini juga
dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya jilid 4 halaman 243
mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an. Penulisan Alqur’an selesai
dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan
nama Mushaf Utsmani, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan
menyetujui hal itu.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra]
pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada
waktu Rasulallah saw masih hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban
Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri
masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan
dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik
prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang
tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah Allah
swt. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi
saw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami
kemukakan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw.
Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah, karena
Rasulallah saw. membenarkan serta meridhoi atas kata-kata tambahan dalam
sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun
Nabi saw. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut.
Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan,
baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulallah saw. atau zaman
dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta
mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah
swt. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta
Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
(رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap
manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya
(tujuannya) karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena
Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat
memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulallah saw. dalam meng-
hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana
yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka mau dan
akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan
mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan
mensesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah
mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah
menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum
Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa
pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah
(sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah swt. atas
pemahaman mereka semacam ini.
Wallohu a’lam bishshowab